Senin, 03 November 2008

UJIAN NASIONAL, BEBANKAH ?




Oleh : Isma Resti Pratiwi

UJIAN NASIONAL, KECEMASAN SEMUA
Ujian nasional SMP kini telah di depan mata. Walaupun cuma ‘beberapa kertas soal dengan lembar jawaban’, ujian nasional sedikit banyak membuat hampir semua orang cemas. Siswa, guru, orang tua, kepala sekolah, pemerintah, dan lain – lain. Belum lagi angka standar kelulusan yang terbilang tinggi – 5,25 – serta adanya tambahan mata pelajaran baru – IPA – makin membuat semua berkeringat dingin.
Bentuk kecemasan ini diwujudkan dalam banyak hal. Contohnya, sekolah mengadakan les rutin setiap minggunya. Tak cukup itu, orang tua pun mendaftarkan anaknya ke lembaga – lembaga pendidikan yang dianggap handal meskipun mungkin anak tidak berminat untuk mengikutinya. Selain hal – hal di atas, sekolah pun menuntut siswa untuk belajar mandiri dan belajar berkelompok. Intinya, setiap jam HARUS dihabiskan untuk belajar.
Tanpa disadari, berbagai bentuk kecemasan tersebut lambat laun menjadi tekanan besar bagi siswa. Selain karena tekanan dari diri sendiri yang mengupayakan kelulusan, harapan besar dari orang tua dan guru juga menambah beban siswa itu sendiri.
Karena hal itu, tak heran banyak siswa SMP yang menjadi tertekan, bahkan stress dengan rutinitas kehidupan sekolah yang monoton serta dibebani ‘sana – sini’ setiap waktu. Padahal, ujian nasional itu sendiri belum tiba. Tiga bulan sebelum ujian, siswa justru sudah merasa lelah duluan. Karena lelah, mereka menjadi jenuh, bosan, dan bahkan ada yang kondisi kesehatannya menurun drastis karena kecapaian. Kalau sudah begitu, siapa yang harus disalahkan?

BEBAN BERLEBIHAN, AKIBATNYA?
Seperti yang telah diulas di atas, beban siswa di sini sangatlah besar. Maksud baik pihak sekolah dan orang tua yang menegaskan siswa untuk belajar serius dapat berbalik menjadi senjata yang justru menurunkan semangat belajar siswa. Siswa dengan nilai rendah dan kemampuan kurang, ditekan habis – habisan oleh sekolah. Belum lagi orang tua yang menegaskan anaknya WAJIB menguasai pelajaran tanpa melihat kondisi psikis si anak. Kalau siswa mendapat nilai rendah atau tidak lulus dalam try out, serta merta siswa dicap tidak mampu, semangat belajar rendah, dan tidak serius sehingga harus digembleng habis - habisan. Orang tua pun merasa kecewa dan bahkan ada yang menghukum anaknya karena tidak lulus try out. Ada juga yang mengancam anaknya untuk lebih giat belajar, dengan harapan anak serta merta menjadi lebih serius dan tekun. Padahal, jika dipikir secara logika, try out itu hanyalah percobaan, sekedar untuk menguji kemampuan anak serta sebagai perkiraan soal yang akan keluar pada saat ujian nanti.
Kita semua tentu memaklumi maksud baik pihak sekolah dan orang tua yang peduli perkembangan siswa, sejauh mana siswa memahami dan menguasai pelajaran. Kita juga memaklumi, tekanan – tekanan tadi mungkin saja perwujudan dari bentuk kekhawatiran terhadap siswa. Namun, hal – hal tadi dapat dikatakan terlalu memberatkan siswa, sehingga justru siswa bukan merasa dipedulikan, tapi merasa diabaikan.

LALU, HARUS BAGAIMANA?
Setelah mengerti kondisi tersebut tentu timbul pertanyaan, jika tidak ditekan harus diapakan?
Sebenarnya jawaban pertanyaan tersebut kembali lagi kepada pihak sekolah dan orang tua. Pihak sekolah seharusnya memberi pengertian kepada siswa bahwa jam belajar yang ketat tersebut sebenarnya adalah bentuk kepedulian mereka bagi siswa. Selain itu, guru – guru juga harus berperan aktif dalam membangun semangat belajar siswa dengan membentuk suasana kelas yang tidak monoton. Dan yang terpenting, jangan terlalu memaksakan untuk menambah jam pelajaran atau les mingguan yang berlebihan tanpa melihat kondisi psikis dan fisik siswa. Tentu terasa percuma jika jam belajar terus – terusan ditambah, tapi siswa sudah merasa lelah hingga pelajaran tidak sedikitpun dimengerti oleh siswa.
Sedangkan untuk orang tua, pahamilah perasaan dan kemampuan anak. Jika dirasa anak kurang mampu, berilah motivasi sedikit demi sedikit sehingga anak dengan sendirinya akan mengerti dengan kemampuannya dan tanpa ditekan akan terus berusaha agar bisa menguasai pelajaran yang kurang dipahami. Apabila anak gagal dalam try out besarkanlah hati anak agar anak tetap bersemangat untuk mempelajari dan memperbaiki kekurangannya. Terakhir, jika memang orang tua berniat memasukkan anaknya ke bimbingan belajar, berdiskusilah dahulu dengan anak secara langsung bukannya hanya sekedar bertanya kepada anak apakah ingin atau tidak mengikuti program bimbingan belajar tersebut. Pikirkan baik buruknya serta dampak bagi anak ke depannya.
Alangkah baiknya jika pihak sekolah dan orang tua menerapkan proses belajar yang demikian, sehingga siswa tidak merasa tertekan sama sekali. Dengan tidak tertekannya siswa, semangat belajar pun tidak akan menurun, dan siswa menjadi lebih enjoy dalam menghadapi ujian nasional. Pelajaran pun jadi lebih cepat dimengerti dan siswa pun menjadi lebih terbuka kepada sekolah dan orang tua sehingga sekolah dan orang tua mengerti dimana letak kesulitan si anak.
Namun, semuanya berpulang lagi pada diri masing – masing. Masih ada waktu untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan yang sekarang diperlukan agar ujian nasional tidak menjadi sesuatu yang harus ditakutkan atau malah menjadi beban bagi semua pihak. Semoga hal tersebut dapat terlaksana. Amien.

1 komentar:

dOnLyMe mengatakan...

BaGoeS.... BaGoeS..
SeeNaKe MaSuKiN aRtiKeL BuaTaN oRg..,,
KoMiSiNya Mana MaS??