Minggu, 15 Februari 2009

JUAL DIRI



Menjual diri,satu kalimat pendek terdiri dua suku kata yang sering berkonotasi negatip.Kalimat yang sering diidentik dengan prostitusi ,padahal konteks dari menjual sangatlah luas. Jual diri ,erat kaitannya memasarkan kemampuan dari seseorang.Kemampuan seseorang apabila tidak bisa dieksplotasi keluar, maka kemampuan tersebut hanya sia-sia tak termanfaatkan.
Semua orang pada prinsipnya mempunyai kemampuan dan telah di berikan oleh Allah SWT sejak lahir ,tapi selama kemampuan tersebut tidak diketahui oleh orang lain apalagi oleh diri sendiri maka siapa yang bisa tahu?.
Hari-hari menjelang pemilu legislatif ,merupakan hari hari para caleg berjuang untuk memasarkan dirinya terhadap para konsumennya, dalam hal ini adalah rakyat yang telah mempunyai hak pilih.Berbagai macam cara mereka memasarkannya bisa dengan brosur,kartu nama ,iklan di radio,bisik-bisik tetangga bahkan melalui baliho yang bertebaran di persimpangan jalan.Semuanya dengan wajah penuh senyuman ....kan!, nggak mungkin memasang wajah preman,maksudnya muka perang. Bahkan begitu banyak Caleg pria tiba-tiba lebih suka terlihat memakai peci entah apa maksudnya? Hanya hati mereka yang tahu.Sementara caleg wanita menebarkan pesona dengan kecantikkannya,seolah-olah dengan kecantikkan semua persoalan rakyat bisa terselesaikan. Para caleg memang harus bisa tampil maksimal dan selama ini di perbolehkan juga tidak melanggar undang-undang.
Wajah kota berubah menjadi begitu meriah penuh baliho dan umbul-umbul serta bendera partai.
Menjadi pertanyaan?, apa itu effektif bisa meraih simpati dari pemilih.Apa mungkin? dengan telah menampangkan diri di Baliho serta-merta rakyat langsung memilihnya.Rakyat yang mana bisa diraih simpatinya dengan modal senyuman di baliho,sedemikian bodohkah masyarakat.
Bisa disodorkan tampang yang dibuat-buat langsung bisa dipilih,bagaimana kinerja dari masing-masing calon legislatif,bagaimana track recordnya, sejauh mana caleg bisa dipercaya untuk mengemban amanah, memperjuangkan aspirasi masyarakat,menyampaikannya dalam tiap sidang,kemampuan mengkomunikasinya,prioritas apa yang perlu segera diwujudkan ,bagaimana caranya mencarikan solusinya,kemudian merealisasikan dari keinginan masyarakat pemilihnya.Seribu pertanyaan menggelanyut di benak pemilih,dan belum ada terdengar dari satu calegpun mengungkapkan dihadapan publik.Kecuali janji-janji setinggi langit tanpa mengungkapkan cara merealisasikannya yang realistis.
Apa mereka sudah mendengarkan denyut nadi dari keinginan masyarakat,cukupkah waktu kurang lebih 3 bulan untuk mendengarkan denyut nadi itu.Sepertinya semua serba instan,jangan-jangan akan melahirkan wakil rakyat yang instan pula dan mudah-mudahan saja tidak seperti itu.
Menjadi wakil rakyat memang hak semua warga negara,tapi tanpa melalui suatu proses yang matang dan terencana. Sepertinya sekedar menjalani ritual 5 tahunan yang dari pemilu ke pemilu tanpa adanya perubahan mendasar.Hanya sebagai Formalitas dari suatu syarat adanya demokrasi saja. Tidak menyentuh hal yang paling urgensi dari demokrasi itu sendiri,mensejahterakan rakyat.
Memang kita semua masih dalam tahap belajar ....belajar memilih,dan belajar agar bisa untuk dipilih.
Belajar demokrasi yang telah terbelenggu selama 30 tahun.
Dan kita harus berani memulai.......
Seperti panton MAT JELANGOR di Baliho-Balihonya,
Nasi udok,Nasi kebuli, Dah dudok,Tadak peduli.
Tudong saji,Jatoh di rumpot, Banyak janji,banyak ngerampot.
Ikan belidak,dibikin kerupok Bukti tadak,Janji betumpok.
Jangan dipileh....!!!!!!!

Tidak ada komentar: